Rabu, 27 Februari 2013

MULTI LEVEL MARKETING VERSUS MARKETING SYARI'AH


Akhir-akhhir ini, kita banyak sekali menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka. Tentu saja ini adalah sebuah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan ditengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi.

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. Salah satu pola bisnis yang saat ini marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Pada dasarnya, berbisnis dengan metode ini boleh-boleh saja, karena hukum asal Muamalat itu adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Namun demikian, hematnya, bahwa pada praktiknya masih sering terdapat berbagai penyimpangan dari aturan syari'ah, sehingga adalah tugas kita bersama untuk meluruskannya. 

MLM merupakan suatu cara penjualan produk yang dilakukakan secara langsung (direct selling) dengan gaya tersendiri, yaitu tanpa melibatkan perdagangan besar ataupun pengecer seperti halnya pada saluran pemasaran konvensional. MLM ini tumbuh dan berkembang pertama kali di Amerika sedangkan di Indonesia baru berkembang sekitar tahun 1985. Perusahaan yang menjual produknya secara MLM di Indonesia seperti Amway, Bestway, Centra Nusa Insan Cemerlang, Tianshi, Klorofil, dan lain sebagainya. 

KONTROVERSI HUKUM MLM

Kontroversi MLM apakah boleh atau tidak dalam bisnis pemasaran produk belakangan ini memang sempat hangat. Tarik menarik antara yang pro plus kalangan yang menjalankan (menjadi agen) dan yang kontra telah mengisis lembaran perbisnisan nasional. Hingga akhirnya muncul suatu bisnis pemasaran baru yaitu syari'ah marketing. Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak ramai. Yang secara umum gambarnya adalah mengikuti program piramida dalam sistem pemasaran, dengan setiap anggota harus mencari anggota-anggota baru dan demikian terus selanjutnya. Setiap anggota membayar uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus, semakin banyak anggota dan semakin banyak memasarkan produknya makan akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. 

Sebenarnya kebanyakan anggota MLM ikut bergabung dengan perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus tersebut dengan harapan agar cepat kaya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan bukan karena dia membutuhkan produknya. Hal ini membuat The Islamic Foof and Nutrition of Amerika (IFANCA) misalnya, turun tangan untuk memberikan kepastian akan hukum MLM ini. Menurut edaran yang dikeluarkan tentang produk MLM Halal dan dibenarkan oleh agama yang diteken langsung oleh M. Munir Chaudry, Ph.D (Presiden IFANCA). Dalam edarannya IFANCA mengingatkan ummat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sbelum bergabung ataupun menggunakannya, Yaitu dengan mengkaji aspek:

1. Marketing Plan-nya, apakah ada unsur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piramida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line dibawahnya, maka hukumnya haram.
2. Aapakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik. Atau kah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontroversinya.
3. Apakah produknya mengandung zat-zat harama ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak. 
4. Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai dengan arisan berantai (money game) yang menyerupai judi. 
5. Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian. 


Marketing Syariah nya belum dibahas, 
to be continued